Gurunya Manusia

image

GURUNYA MANUSIA : Menjadikan pelajaran mudah dimengerti

Kebanyakan para siswa sepakat bahwa pelajaran matematika adalah salah satu pelajaran yang paling tidak disukai di kalangan para siswa atau murid lantaran pelajaran ini susah dimengerti. Berdasar kajian yang pernah dilakukan, menempatkan matematika di posisi teratas pelajaran yang tidak disukai para anak anak sekolah, disusul oleh bahasa inggris. Benarkah demikian?

Berkaitan dengan belajar dan mengajar, kita berbicara tentang pola komunikasi yang 2 arah, dimana sang guru yang mengajar atau memberikan ilmu, sedangkan di sisi lain sang murid menerimanya. Dan akan terjadi sebuah proses yang dinamakan “belajar” disaat apa yang diberikan guru telah dan sudah dapat diterima oleh siswa melalui proses berpikir di otaknya, lain halnya jika apa yang diberikan guru “hanya” didengar, hanya dilihat dan atau hanya dirasakan saja tanpa ada proses yang melibatkan memory jangka panjang, tentu proses ini tidak membuahkan ilmu baru bagi sang murid. Mengapa bisa terjadi seperti ini?  Berikut beberapa penjelasannya.

1. Murid Tidak Merasa Nyaman

Dimungkinkan dalam proses pembelajarannya siswa belum atau tidak merasa nyaman. Pada kondisi ini, otak siswa bagian belakang bawah, yang biasa dikenal dengan otak reptile sedang aktif sehingga otak hanya berfokus pada “bagaimana cara agar nyaman? “. Dan pada kondisi ini tentunya bagian otak berpikir yang biasa disebut neurocortec tidak dapat berfungai baik, dan mengakibatkan setiap informasi yang masuk, hanya sepintas lalu saja, karena otak berfokus pada bagaimana menjadi nyaman. Solusinya : pastikan sebelum proses belajar mengajar dimulai, para siswa atau murid merasa nyaman dan senang, jaga rasa nyaman dan senang tersebut hingga proses belajar selesai. Caranya : penggunaan latarbelakang musik yang nyaman, seperti musik instrumental, music klasik dsb. Penerapan sesi ice breaking sebelum pelajaran dimulai, seperti game game ringan, tebaktebakan, brain gym, teka teki berhadiah, dsb.

2. Gaya Mengajar Guru Tidak Sama Dengan Gaya Belajar Murid.

Dimungkinkan kesulitas belajar terjadi dikarenakan gaya mengajar guru tidak sama dengan gaya belajar murid. Hal ini dapat terjadi jika sang guru belum memahami gaya belajar muridnya yang berbeda beda, sang guru hanya mengajar sesuai dengan cara belajarnya sendiri untuk dipakai mengajarkan pelajaran kepada para muridnya. Seperti contoh, guru yang suka membaca, akan mengajar siswa dengan kegiatan berbasis membaca, karena baginya jika siswa pandai membaca pasti pintar dan yang malas membaca pasti tidak pintar. Contoh lain : saat sang guru suka belajar dengan latihan soal soal, cenderung akan mengajar muridnya dengan soal soal yang harus dikerjakan dalam jumlah banyak, dan dinilai, yang sering kali menjawab benar berarti pintar dan yang sering salah berarti tidak pintar.
Kedua contoh mengajar di atas menunjukkan bahwa sang guru memaksakan gaya belajarnya untuk diterapkan sebagai gaya belajar muridnya. Padahal seperti kita ketahui bahwa masing masing individu mempunyai gaya belajar yang berbeda beda, beberapa menyukai membaca teks saat belajar, beberapa menyukai soal dan studi kasus, beberapa lagi menyukai praktek langsung, ada juga yang belajarnya lebih suka melalui cerita atau dongeng, ada juga yang melalui alunan musik dan lagu, dan adapula yang dengan gambar, dan masih banyak lagi. Hal ini sesuai dengan pola kecerdasan dominan masing masing murid sebagai individu. Merujuk pernyataan Howard Gardner, pakar kecerdasan jamak, bahwa setiap anak terlahir cerdas dan akan menjadi cerdas sebagaimana lingkungannya membesarkannya. Sehingga masing masing anak mempunyai kecerdasannya sendiri sendiri. Ada yang cerdas membaca, ada yang cerdas berhitung, ada yang cerdas menyanyi, ada yang cerdas mengambar dsb. Solusinya : guru

Harus menjadi pembelajar, mengerti gaya belajar masing masing siswanya, dan mengajarnya disesuaikan dengan gaya belajar tersebut

Kedua contoh diatas membawa kita pada proses pembelajaran yang sering dikenal dengan “Labeling”, dimana para murid dengan mudah diberi label pintar dan bodoh / tidak pintar. Saat murid pandai baca, Pintar, yang tidak pandai baca, bodoh. Jika anak sering benar menjawab soal matematika, pintar, jika sering salah, bodoh. Dan masih banyak lagi labeling labeling lain yang seharusnya tidak terjadi di proses pembelajaran ini.

Everychild is spesial, everychild is genius.

Ditulis oleh

dutria bayu adi
Dutriabayu@gmail.com

Www.bfinstitute.wordpress.com
Www.bfinstitute.blogspot.com