Suatu
Sang anak berpamitan dengan berteriak keras sambil berlari menuju masjid dekat rumah, dengan membelakangi ayahnya, “PA, SAYA SHOLAT DI MASJID DULU YA……”.
Berlarilah si anak sholeh tadi menuju masjid dan dengan cueknya meninggalkan sang ayah yang masih sedang asyik asyiknya dengan “Nongkrong Barengnya”.
Sekilas tidak ada yang aneh dan salah dengan sepenggal cerita di atas, dan dapat pula kita katakan bahwa hal tersebut adalah kejadian yang biasa, sangat sepele untuk dijadikan artikel dan dijadikan bahan diskusi. But… okeylah monggo, namanya juga diskusi, ada yang pro dan ada yang kontra, yang jelas adanya perbedaan adalah bumbu diskusi, tanpa adanya perbedaan diskusi akan kering dan monoton, kayak pidato jadinya. Lets start.
Dalam penggalan cerita di atas, setting / lokasi percakapan terjadi di ruang terbuka hijau sebuah perumahan, dapat pula di detailkan, pastilah si anak sudah berpakaian ala anak sholeh, Baju Muslim, Menggunakan kain sarung sebagai bawahannya, dan Peci agak miring sebagai penutup kepalanya yang hampir jatuh karena guncangan saat berlari menuju masjid. Bagaimana dengan ayahnya, yukk, kita beropini di sini. Memungkinkan keadaan sang ayah tadi menggunakan celana pendek tiga perempat, kaos oblong santai dan tidaklah mustahil tersemat “batang” nikmat di sela sela jarinya. Yuk kita uraikan kejadian dalam kisah tersebut.
- Kalimat “PA, SAYA SHOLAT DI MASJID DULU YA……”. Menunjukkan bahwa yang berangkat ke masjid hanya sang anak sholeh saja, sedangkan sang ayah masih tetap tinggal di tempat semula.
- Klo lah sang ayah juga diajak ikut ke masjid pastilah kalimat sapaannya berubah menjadi “PA, YUK SHOLAT DI MASJID YUK……!!”. Kalimat ajakan dan kalimat perintah untuk ikut tergabung dalam barisan ke masjid diucapkan sang anak sholeh ke ayahnya. #Udah siap belum ayahnya di ajak ke masjid ??? Dalam kondisi ini tidak ada kepastian kisah apakah sang ayah mau atau menolak ajakan sang anak sholeh.
- Kondisi kemungkinan ketiga adalah sang anak memastikan bahwa sang ayah berangkat bersamanya menuju masjid. Kalimatnya menjadi “PA, YUK KE MASJID, ADEK MAU BERANGKATNYA DIGENDONG BELAKANG SAMA PAPA, KAYAK KEMARIN SORE ITU”. Kalimatnya jelas bahwa sudah menunjukkan kebersamaan mereka saat berangkat ke masjid, tidak hanya hari itu saja, tetapi hari hari sebelumnya juga.
Dan beberapa kemungkinan lainnya. 3 kondisi di atas adalah kondisi yang dilihat dari sisi sang anak sholeh, bagaimana dengan keadaan di lain pihak, di sisi sang ayah, yuk kita coba uraikan lagi :.
- Kalimat yang terucap dari sang ayah sebagai jawaban sapaan / ajakan sang anak, “IYA NAK, HATI HATI DI JALAN, JALAN LARI LARI, TENGOK KANAN KIRI SAAT MAU MENYEBRANG”. Nah ini kurang lebihnya kalimat sang ayah yang melepas anaknya pergi ke masjid sendirian tanpa didampingi sang ayah tercinta.
- Kemungkinan yang kedua, sang ayah akan berkata, “IYA NAK, SANA BERANGKAT DULUAN, PAPA MENYUSUL DI BELAKANGMU, HATI HATI, JANGAN LARI LARI, PERHATIKAN LANGKAHMU. Jawaban ini terucap disaat sang ayah pun berangkat ke masjid akan tetapi tidak bersamaan waktunya atau mungkin tidak bersebelahan jalannya dengan sang anak sholeh.
- Kemungkinan ke tiga, sang ayah akan menjawab pamitan sang anak dengan, YA NAK, YUK KITA BERANGKAT BARENG, SINI PAPA GENDONG BELAKANG, SEPERTI KEMAREN SORE. Jawaban yang menyejukkan hati ini pastilah terucap disaat sang ayah dan sang anak sholeh berangkat bersama sama dan sangat dekat hubungan emosinya.
Nah dari kondisi kondisi di atas dapat kita renungkan bagaimana dengan kondisi kita (suami kita) dan anak kita, akankan sang anak yang sholeh tersebut adalah anak kita (attitudenya) dan apakah sang ayah tadi adalah kita (suami kita). Tentu kita sendiri yang bisa menjawabnya. Jadikan ini sebagai kisah inspiratif untuk kita berbenah, jadikan keluarga kita jadi lebih baik dan lebih sholeh lagi.
Btw, bagaimana dengan kondisi yang ideal ?
- Haruskah sang anak yang mengajak ke masjid duluan, atau sang ayah yang harusnya lebih dahulu. Jawabannya mungkin ada pada keteladanan, sangatlah sulit sang anak akan mengajak ayahnya ke masjid jika sang anak mengetahui bahwa ayahnya sholatnya selalu di rumah. Bisa jadi keiningan mengajak ayahnya itu muncul dikarenakan rasa iri sang anak melihat teman temannya berangkat ke masjid ditemani ayah mereka masing masing, atau bisa jadi rasa ingin mengajak sang ayah muncul dari buah manis tarbiyah, pelajaran agama yang diperoleh dari sekolah atau sekolah sorenya (TPQ).
- Teladan Orangtua menjadi penyebab munculnya GOOD HABITS pada anak. Sang anak yang telah terbiasa menyaksikan ayahnya selalu sholat berjamaah di masjid sesaat setelah adzan berkumandang akan direkam oleh ingatan sang anak dan diterjemahkan sebagai kebiasaan yang baik dan harus dicontoh. Dan rasa keinginan anak untuk lebih unggulan yang terkadang memunculkan inisiatif sang anak untuk mengawali kebiasaan baik ini, dengan cara mengajak orang tuanya melakukan kebiasaan itu dan menjadikan dirinya sebagai pemimpinnya. Hal ini dapat kita sebut sebagai EGO ANAK KECIL UNTUK DIKATAKAN “HEBAT”.
- Sajikan teladan baik bagi anak kita.
Menjadikan seorang anak jadi sholeh adalah pilihan, beberapa memilih dengan menyajikan teladan sholeh, adapula yang memilih membelikan teladan sholeh bagi anaknya (dicarikan ustadz atau ustadzah) dan adapula yang masing bingung harus bagaimana, dan golongan yang terakhir, adapula yang menganggap ini semua NGGAK PENTING.
“Life is Choice” adalah pepatah yang tepat untuk hal ini, saran kami, Pilihlah yang terbaik.
Mohon maaf atas segala salah,
Terimakasih atas kesempatanya, semoga ALLAH selalu bersama kita dan keluarga
Semoga ALLAH memudahkan kita menjadi keluarga yang Sholeh dengan keturunan yang Sholeh pula
Kritik dan Saran serta masukan kirim ke email dutriabayu@gmail.com
Atau WA / SMS 085640262068
Iklan : Training Outbound Semarang | Konsultan Marketing Kampus dan Sekolah